Powered by Blogger.

Search This Blog

Tuesday, August 19, 2014

Catatan Kecil : BASUKARNO





Empat puluh dua tahun yang lalu, dalam sebuah kotak kulit, hanyut dalam aliran sungai seorang bayi laki-laki rupawan. Seorang istri sais memungutnya dan menjadikan ia sebagai anak angkatnya. Tampak dari tempatnya di mana ia dihanyutkan, tentulah bayi tersebut bukan dari kalangan kebanyakan. Kasta Kesatria yang telah melahirkan bayi ini, pikir ibu itu. Namun entah mengapa, sang ibu bayi yang telah melahirkannya justru menolak keberkahan dari Pemilik Hidup.

Dalam kuil kecil di pinggir gurun, separuh hari perjalanan dari Awangga, Kunti, istri Baginda Pandu, ibu dari para Pandawa duduk dengan tegak di atas batu kali. Tiga suluh minyak jarak yang menempel di dinding menerangi ruangan dengan muram walaupun matahari senja belum tenggelam di balik cakrawala. Seorang dayang tua duduk bersimpuh di sudut kuil menemani ibu sepuh tersebut. Garis wajahnya yang begitu kuat menggambarkan penderitaan yang telah ia alami selama ini. Sepuluh tahun lebih Kunti beserta para putranya harus mengasingkan diri dalam hutan setelah para Pandawa kalah dadu di istana Hastinapura. Permainan dadu yang juga telah meruntuhkan kehormatan keluarga Pandawa.


Dalam termangu, Kunti menunggu kehadiran seseorang yang telah empat puluh dua tahun berpisah dengannya. Seseorang yang akan menjadi musuh Arjuna, putranya, dalam perang Baratayudha yang akan segera berlangsung. Kecamuk hati yang tak bertepi ketika takdir telah menggariskan bahwa Arjuna akan menjadi lawan Basukarno dalam Baratayudha tersebut. Jiwa seorang ibu untuk memberikan perlindungan bagi putra-putranya sangat kuat bersemayam dalam diri Kunti sore itu.

Debu gurun beterbangan sore itu ketika sebuah kereta dengan dua kuda putih yang menariknya berhenti di muka kuil. Sebuah songsong payung kuning keemasan berdiri tegak di bagian belakang kereta, menandakan sang empu kereta adalah seorang yang memiliki jabatan penting. Dialah Basukarno, adipati Awangga. Seraya menyuruh sais keretanya pergi menjauh, Basukarno memasuki kuil tua itu untuk menemui Kunti yang telah mengundangnya.

Dengan takzim Basukarno menemui ibu sepuh itu. Terlintas dalam benaknya apakah gerangan yang hendak disampaikan oleh ibu dari para Pandawa tersebut. Apakah ibu Kunti hendak memintanya supaya mengurungkan niatnya maju dalam medan laga menghadapi Arjuna, putranya. Apakah ibu Kunti hendak menyampaikan sesuatu yang lain yang selama ini disimpannya rapat-rapat.

Dengan sorot mata syahdu Kunti menatap wajah adipati Awangga tersebut. Tanpa disadarinya, linangan air mata membasahi pipinya. Perlahan namun pasti, sorot matanya meredup.

“Basukarno, Engkau adalah anakku. Maafkan ibumu yang telah menjadikan Engkau berpisah dengan ibumu ini selama lebih dari empat puluh tahun. Karena tidak semestinyalah Engkau juga harus berpisah dengan saudara-saudaramu yang lain” ujar Kunti.

Kunti tidak kuasa menahan tangis pada dirinya. Karena percintaan yang tidak sah menyebabkan dirinya harus berpisah dengan anaknya sendiri.

“Basukarno, ibu pinta urungkan niatmu untuk berdiri di Kurusetra besok di mana Engkau harus berhadapan dengan Arjuna, yang tak lain adalah adikmu sendiri” lanjut Kunti.
Bukan masgul hati yang ada dalam diri Basukarno. Bukan pula terkejut atas apa yang dihadapinya pada saat itu.

“Ibu, kalaupun hamba harus mati karena anak panah Arjuna, ataupun Arjuna akan gugur di tangan hamba, Ibu tetap akan memiliki lima orang putra” jawab Basukarno dengan mata tertunduk pada kedua kaki Kunti yang duduk di hadapnnya.

Seorang anak bukanlah entitas yang tergantikan. Masing-masing adalah diri dengan membawa roh dan jiwanya secara tunggal. Masing-masing memiliki takdir dan nasibnya masing-masing. Takdir adalah kesunyian masing-masing, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Chairil Anwar. Namun tidak demikian apa yang ada dalam benak Basukarno.

Kunti, yang pernah dilihatnya lebih dari sepuluh tahun yang lalu dari peringgitan, ibu yang kukuh yang mendampingi putra-putranya menuju hutan pengasingan. Dengan balutan kain kasar dan ikat rambut putih seorang pertapa, di atas gerobak sapi, ibu itu dengan tegar duduk di samping lima putranya dan satu orang menantunya menjemput hukuman. Kalaupun sekarang ia memintanya untuk mengurungkan niatnya maju ke medan laga menghadapi adiknya sendiri, tentunya karena naluri suci seorang ibu yang mengharuskan demikian.

Semburat cahaya merah menghiasi ufuk barat ketika derap lari kuda kereta Basukarno meninggalkan kuil itu. “Apakah yang Engkau cari wahai Basukarno ? Engkau bukan bagian dari Kurawa yang hendak Engkau bela. Engkau juga tak akan bisa mensucikan darah yang ada dalam dirimu itu dari darah para Pandawa” guman Basukarno dalam hati.

Pada hari ketujuh belas Perang Baratayudha di Kurusetra, dengan kereta yang disaisi oleh Raja Salya, bapak mertuanya, Basukarno harus berhadapan dengan Arjuna, yang tak lain adiknya sendiri. Dengan kesadaran seorang sahabat yang lebih kuat dibandingkan kesadaran akan saudara, Basukarna berdiri bersama-sama denga para Kurawa di padang tersebut.

Basukarno tersadar, sebuah kesadaran pahit yang ia dapatkan pada waktu itu walaupun terlambat. Hati Raja Salya bukan pada dirinya namun pada Arjuna yang menjadi musuhnya. Sebatang anak panah Arjuna menghunjam tajam ke lehernya tanpa upaya Raja Salya untuk menarik tali kekang kuda sebagai upaya untuk menghindar. Dan Basukarnopun gugur di medan laga tersebut.

Sebuah kesadaran yang tidak utuh hanya bertabir tipis dengan kesadaran semu yang berujung pada sebuah kesadaran yang pahit. Demikian juga apa yang dialami oleh Basukarno.

(Suryandaru Rineksa Kawuryan)

No comments:

Post a Comment

 

Followers

About

About

KPP Pratama Bojonegoro Jl Teuku Umar No 17 Bojonegoro