Friday, August 22, 2014
Catatan Kecil : BISMA
Sore itu, di hari kesepuluh Perang Baratayudha di Padang Kurusetra, Bisma dengan wajah seorang ksatria agung, terperanjat atas kenyataan siapa yang harus ia hadapi pada saat itu. Srikandi adalah perupaan Dewi Amba.
Dewi Amba, putri dari Kasi, sekitar empat puluh tahun yang lalu harus berpisah dengan kekasihnya, Pangeran Salwa dari Saubala karena Dewabrata - nama muda Bisma - telah memenangi sayembara yang diupayakan oleh ayahnya. Sayembara yang mensyaratkan semua ksatria yang hendak meminang para putri Kasi untuk dapat saling mengalahkan. Dewi Amba beserta kedua adiknya, Ambika dan Ambalika menjadi putri boyongan bagi Bisma. Namun betapa masgul hati Amba bahwa bukan sejatinya dirinya sebagai putri boyongan bagi Bisma, namun bagi adik Bisma, Pangeran Wicitrawirya.
Lima tahun sebelumnya, sebuah sumpah agung diucapkan Bisma. Sumpah agung yang begitu berat. Sumpah agung yang merupakan bentuk pengorbanannya kepada ayahandanya, Prabu Sentanu. Ketika Prabu Sentanu hendak menjadikan Dewi Setyawati sebagai istrinya yang tidak sekedar sebagai istri selir, demi kepastian mahkota raja atas putra Prabu Sentanu dari istri mudanya sebagaimana yang dipersyaratkan Setyawati, demi bhakti kepada ayahandanya, Bisma bersumpah bahwa ia tidak akan memungut mahkota raja Hastinapura. Mahkota tersebut sepenuhnya adalah hak adiknya yang kelak dilahirkan dari rahim Setyawati. Dan demi kepastian atas sumpah itu pula, Bisma bersumpah bahwa ia tidak menikah sampai akhir hayatnya.
Semerbak harum melati memenuhi siti hinggil istana Hastinapura tersebut. Langit menjadi saksi atas segala sumpah Bisma tersebut. Sebuah pengorbanan yang melebihi batas-batas kesadaran pribadi sebagai seorang insan. Sebuah pengorbanan yang tidak memandang orang lain - apalagi seorang ayahanda - sebagai orang lain, namun adalah diri sendiri. Di mana dalam benak Bisma, sebuah kebaikan bagi ayahandanya adalah dharma bagi dirinya.
Di tengah hutan, di tepi telaga yang mulai mengering, seratusan tombak dari sepasang rusa yang membasuh dahaga dengan air yang tersisa, Dewi Amba merenungi kepahitan akan nasib dirinya. Dirinya merasa hanya sebagai obyek dari seorang satria paruh baya Hastinapura. Seorang Bisma yang ternyata dia bertindak bukan atas dirinya sendiri, namun atas adik tirinya. Bukan seseorang yang selama ini memenuhi pikiran dan jiwanya sejak ia diboyong dari Kasi, namun ternyata adalah orang lain. Sempat Bisma mengirim kembali Dewi Amba ke Saubala, ke tempat Pangeran Salwa berada, namun hati Pangeran Salwa telah tertutup untuk Dewi Amba. Ia menolak kedermawanan Bisma yang diulurkan kepadanya. Pangeran Salwa merasa telah kalah dan dipermalukan. Enam tahun Dewi Amba mengasingkan diri sampai akhir hayatnya dalam hutan tersebut.
Dengan senandung sunyi seorang diri, Dewi Amba menghabiskan hayat dengan penantian kepastian atas supata yang pernah ia ucapkan kepada Bisma. Supata, do'a sekaligus kutukan. Donga wong kang kasingkaran kaparingan ijabah. Do'a orang teraniaya mendapatkan ijabah. Supata atas Bisma, bahwa ia, Dewi Amba, akan menjemput kematian Bisma suatu saat nanti dan berjalan bersama menuju nirwana. Keagungan cinta Dewi Amba pada Bisma memaknai akan cinta yang ia bangun sebagai sesuatu yang tak bertepi dan tak berbatas.
Angin berembus dingin di Kurusetra. Dengan ikat rambut putih seorang pertapa, rambut putih Bisma berkibar terurai menjuntai sampai bahunya. Berdiri kokoh ia di atas kereta perangnya. Pandangannya nanar seakan tak percaya akan siapa yang dihadapinya pada saat itu.
Srikandi….. Amba…. Srikandi….. Amba. Menerawang ia ke masa lampau, ke masa ketika Amba menjatuhkan supata kepada dirinya. Bahwa Amba akan menjemput kematiannya dan berjalan bersama menuju nirwana.
“Duh Gusti, kenapa Engkau menjadikan Srikandi sebagai perupaan Amba ? Dan kenapa pula Engkau pertemukan hamba dengan dia pada saat perang ini ?”guman Bisma dalam batinnya.
Tertegun sejenak, Bisma menyadari bahwa telah tiba akan takdirnya. Ketika Srikandi menghujani dirinya dengan puluhan anak panah, seakan ia tak menghiraukannya dan ia justru tertawa. Kehadiran Srikandi merupakan pertanda buruk yang mampu mengantarnya menuju takdir kekalahan. Ia juga tahu bahwa ia ditakdirkan gugur karena Srikandi, maka dari itu ia merasa sia-sia untuk melawan takdirnya.
Bisma terjerembah ke tanah dari kereta perangnya ketika anak panah penghabisan Srikandi menghunjam ke dadanya. Bisma gugur berkalang tanah dalam perang di padang Kurusetra itu. Sepasang merpati hinggap di roda kereta perang yang telah tidak bertuan, sesaat kemudian terbang tinggi membelah awan hitam yang menaungi tempat tersebut. Hujan gerimis membasuh tubuh Bisma yang telah terkulai di tanah, membersihkan wajah ksatria agung tersebut dari percikan darah peperangan.
Udara terasa muram menjemput petang yang segera tiba. Kedua belah pihak yang berperang hening sesaat atas kejadian yang baru saja berlangsung. Demikian juga Srikandi dan Pandawa lainnya. Bisma gugur, namun bukan berarti gugurnya Bisma adalah sebuah kemenangan bagi mereka. Mereka tentunya juga merasa kehilangan akan eyang yang sangat mereka hormati tersebut. Bagaimanapun juga Bisma adalah eyang jauh mereka, saudara tiri dari Wicitrawirya di mana Bisma telah berkorban untuknya. Pengorbanan untuk tidak menyandang sebagai pewaris singgasana Prabu Sentanu dan menyerahkan kedudukan putra mahkota kepadanya dan pengorbanan untuk hidup seorang diri sampai akhir hayat demi sebuah kepastian akan sumpah yang ia ucapkan. Namun naifnya, pada akhirnya Bisma harus terjebak dalam pranata konflik anak cucu Wicitrawirya yang telah ia muliakan tersebut.
Bisma telah menjadi korban dari perang wangsa sendirinya. Andai kata Bisma tidak melakukan sumpah itu, sumpah yang merupakan pencerminan dari keluhuran jiwanya, mungkin saja perang itu tidak terjadi. Tapi takdir dan nasib telah digaris di langit dan ia sadar bahwa ia tak akan kuasa melawan takdir dan nasib yang telah digariskan tersebut.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment