Bagi penggemar sastra, inilah saatnya menyimak Catatan Kecil Mas Wandi.
Di tepi jalan menuju kuburan
desa, berdiri dengan lapuknya sebatang pohon beringin tua. Akar-akar tunjangnya
menjuntai ke tanah. Rimbun daun-daun yang menguning mulai rontok mengotori
tanah sekitar. Batangnya mulai mengering dan keropos berongga karena penyakit
tahun. Kulit batangnya mulai mengelupas di banyak tempat. Tak sedikit orang
yang takut untuk sekedar lewat di dekat pohon beringin renta itu, apalagi
mendatanginya. Takut akan keangkerannya, juga takut akan mudharatnya.
Tepat di bawah batang pohonnya,
tergeletak sebuah tungku perapian kemenyan yang selalu mengepulkan asap-asap
dupanya. Asap-asap dupa yang yang membumbung tinggi menaburkan bau wangi
kemenyan yang senantiasa dinikmati para jin dan peri penghuni beringin tua itu.
Beribu jin dan peri menempati setiap dahan, ranting, akar tunjang dan
pucuk-pucuk daunnya.
Sejengkal tanah di samping
tungku perapian kemenyan tersebut, menghadap ke arah batang pohon, duduk
bersemedi lelaki tua bersorjan coklat dan berikat kepala sawung hitam. Jengggot
panjangnya mulai memutih dan kulitnya mulai berkeriput menandakan bahwa lelaki
tersebut telah berumur. Orang-orang desa menyebutnya Pakde Lodro. Dialah juru
kunci beringin tua itu. Pakde Lodrolah beserta para cantriknya yang senantiasa
menjaga dan merawat beringin tua itu. Tiap malam purnama bulan Suro penanggalan
Jawa, Pakde Lodro menyelenggarakan acara sedekah bumi dengan segala dupa
kemenyannya di bawah beringin yang ia jaga. Puji mantra pada para jin dan peri
penghuni beringin tua ia lantunkan dengan harapan para jin dan peri senantiasa
berpihak kepadanya.
Pakde Lodro adalah sosok
terkenal di desa tersebut. Bahkan, banyak warga desa tetangga yang tahu akan
kekuatan linuwih Pakde Lodro. Kerap kali Pakde Lodro didatangi orang-orang yang
ingin minta bantuannya, minta pertolongan darinya dan dari para jin peri yang
menghuni beringin yang ia jaga. Kebanyakan orang-orang yang minta pertolongan
kepada Pakde Lodro adalah orang-orang yang sering bermasalah dengan pamong
desa. Ternyata mereka kebanyakan adalah para begal, kecu yang sering
mengacaukan desa. Tanpa peduli akan benar tidaknya orang yang menjadi tamunya,
Pakde Lodro selalu menerima dengan tangan terbuka setiap tamu yang datang. Dan
tak selang berapa lama, tungku perapian kemenyan ia nyalakan. Ia lantunkan puji
mantra seiring dengan dupa kemenyan yang terus membumbung memenuhi rindangnya
beringin tua itu. Bagi Pakde Lodro, setiap tamu yang datang adalah orang yang
akan membawa keberkahan bagi dirinya dan para cantriknya karena upeti akan
selalu menyertai kehadiran para tamu tersebut.
Selain sebagai juru kunci
beringin tua pinggir jalan, Pakde Lodro adalah juga tuan tanah di desanya.
Beribu tombak luas tanahnya terhampar di setiap sudut desa. Membentang di sisi
luar hutan yang yang mengelilingi desa tersebut, ladang dan sawah Pakde Lodro
senantiasa memberikan hasil panen yang melimpah setiap tahunnya. Hasil panen
yang selalu melimpah menjadikan Pakde Lodro sebagai orang paling berada di
desanya. Demikianlah, Pakde Lodro lebih dari pada yang lain. Selain karena
kuasa atas uangnya, Pakde Lodro juga kuasa atas dunia supranatural yang
berkembang di desanya.
Di
sisi lain, ternyata kuasa majemuk yang Pakde Lodro punya tidak senantiasa
bergaris lurus dengan kesalehan sosial di tengah masyarakatnya. Pernah suatu
ketika, Pakde Lodro harus berurusan dengan pamong desa karena kewajiban
penyimpanan bawon hasil panen di lumbung desa tidak ia penuhi sebagaimana
mestinya. Dengan hasil panen yang selalu melimpah dari tanah yang ia punya,
Pakde Lodro hanya menyimpan bawon yang ia punya sejumlah apa yang ia mau.
Pamong desa berusaha untuk
dapat meyakinkan Pakde Lodro akan kewajibannya. Namun sungguh lacur, dengan
kuasa supranaturalnya, Pakde Lodro menebar ancaman dan intimidasi kepada para
pamong desa. Dengan lantang ia katakan : “Bahwa para jin peri penunggu beringin
yang aku jaga, akan selalu menjadi pengawal setiaku atas keyakinanku dan akan
selalu melindungiku dari musuh-musuhku.”
Sontak ramai tak bertepi warga
desa atas ancaman Pakde Lodro tersebut. Banyak orang desa yang tidak habis
pikir akan tindakan Pakde Lodro. Warga beranggapan bahwa tidak ada yang salah
dengan pranata yang telah berlaku turun-temurun untuk penyimpanan bawon hasil
panen di lumbung desa tersebut. Pada akhirnya bawon hasil panen yang disimpan
di lumbung desa tersebut akan kembali ke warga juga, yakni ketika desa
mengalami gagal panen maka bawon tersebut dapat digunakan sebagai gantinya
supaya tidak terjadi keadaan yang disebut larang pangan.
Namun bukan Pakde Lodro kalau
tidak kuasa atas tindakannya. Di tengah pertanyaan para warga akan dirinya,
Pakde Lodro justru melakukan agitasi dan hasutan kepada para warga melalui para
cantriknya. Dengan segala agitasi dan hasutan para cantriknya, Pak de Lodro
dapat menjadikan hitam sebagai putih dan putih sebagai hitam apa yang ada di
mata warga desa. Pada akhirnya, para pamong desa menjadi korban karena agitasi
dan hasutan tersebut. Warga justru beranggapan bahwa para pamong desa sudah
tidak amanah lagi sebagai mana apa yang dikatakan oleh Pakde Lodro dan
cantrik-cantriknya. Berujung pada kenyataan, hanya warga desa yang masih mampu
berpikir secara jernih saja yang masih bersedia untuk menyisihkan sebagian
hasil panennya untuk disimpan di lumbung desa.
Perselingkuhan
kekuasaan yang menjadikan seseorang berkuasa secara majemuk kerap kali
merobohkan pranata kemaslahatan bersama.
No comments:
Post a Comment