Powered by Blogger.

Search This Blog

Monday, September 1, 2014

Catatan Kecil : ABIMANYU




Pada bulan kedelapan atas usianya di kala masih di rahim ibunya, Sri Kresna bertutur di hadapan Arjuna, ayahnya. Sebuah suluh minyak jarak menempel di dinding kuil kecil di pinggir hutan itu, di kala Sri Kresna bertutur tentang gelar perang Cakrabyuha. Sebuah gelar perang dengan susunan prajurit perang yang melingkar berlapis membentuk kumparan yang akan mengurung musuh dengan tanpa kesempatan dan harapan untuk melepaskan diri. Sepasang telinga kecil dalam kandungan Subadra, ibunya, dengan takzim mendengarkan penuturan Sri Kresna tersebut. Tak berselang lama ketika Sri Kresna menerangkan tentang cara mematahkan gelar perang Cakrabyuha, mimpi-mimpi malam telah memeluk Subadra dan anak yang sedang dikandungnya.

Abimanyu, anak Arjuna dari Subadra itu, tumbuh dan besar di Dwaraka dalam pengasuhan ayahnya. Olah kebathinan ia peroleh dari eyang buyutnya, Begawan Abiyasa. Wahyu Makutha Raja, Cakraningrat dan Wahyu Hidayat adalah karomah bathin yang ia dapatkan atas olah bathinnya. Ia menikah dengan Siti Sundari, putri Sri Kresna dan kemudian menetap di Plongkowati.



Bulan separuh purnama telah tancep kayon di ufuk barat. Gemintang terasa kurang di langit malam yang telah beranjak menjelang pagi. Dingin udara membekap padang Kurusetra. Sepi dan sunyi, hanya gemericik sungai Saraswati yang mengalun dari kejauhan. Di masing-masing ujung padang Kurusetra, tampak perapian yang masih menyala dengan lidah api yang hampir putus asa. Berdiri di belakangnya, pakuwon dari kedua belah pihak yang sedang terlibat dalam perang.

Dua belas hari sudah perang berlangsung di padang tersebut. Telah banyak korban atas perang wangsa Kuru itu. Tidak terkecuali eyang dari kedua belah yang sedang berperang, yakni Bhisma yang gugur pada hari kesepuluh dari perang tersebut. Perang saudara dengan tenaga yang tersisa yang telah menihilkan garis kekerabatan masing-masing pihak.

Pada hari ketiga belas, prajurit segelar sepapan Kurawa mengatur diri dengan gelar perang Cakrabyuha di bawah kendali Durna yang bertindak sebagai panglima perang Kurawa sepeninggal Bhisma. Prajurit Kurawa mengurung melingkar berlapis dan menekan pergerakan prajurit Pandawa. Dalam pergerakan prajurit Kurawa yang begitu cepat dan terus mengurung melingkar berlapis sebagai mana kumparan, satu per satu para prajurit Pandawa berjatuhan. Dalam hitungan waktu yang tak berselang lama, semakin banyak prajurit Pandawa yang meregang nyawa. Mereka, para prajurit Pandawa, terjebak dalam gelar perang prajurit Kurawa. Tiada kesempatan dan harapan bagi prajurit Pandawa untuk melepaskan diri dari sergapan musuh. Di depan dan belakang mereka, para prajurit Kurawa dengan kesiagaan yang sempurna senantiasa sigap untuk mengantarkan mereka dalam sekejap ke gerbang kematian.

Porak poranda para prajurit Pandawa, tercerai berai. Tiada lagi gelar perang yang dapat mereka kembangkan dalam perang di hari itu. Sementara para prajurit musuh, gelar perang Cakrabyuha yang mereka bangun tiada cela di dalamnya. Bukan perang brubuh semestinya pada waktu itu, namun dengan perkembangan keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi para prajurit Pandawa, suatu keniscayaan jika pada akhirnya perang tersebut menjadi perang brubuh bagi prajurit Kurawa dengan para prajurit Pandawa sebagai korbannya.

Di sisi utara Kurusetra, di kaki sebuah bukit, Yudhistira tertegun sejenak menyaksikan kenyataan itu. Dalam benaknya, hanya Arjuna dan Abimanyu yang dapat mematahkan gelar perang musuh. Yudhistira segera memerintahkan Abimanyu untuk merusak gelar perang para prajurit Kurawa. Sementara pada saat yang bersamaan Arjuna terlibat perang tanding dengan Bhagadatta.

Dengan berharap perlindungan dari empat Pandawa lainnya, Abimanyu merangsek dan mencoba merusak gelar perang musuh. Namun upaya perlindungan terhadap Abimanyu adalah kesia-siaan. Jayajatra menghadang empat Pandawa itu. Abimanyu terjebak seorang diri dalam gelar perang yang mulai mengepung dirinya. Dua kuda kereta perangnya telah mati setelah dibunuh prajurit lawan. Di samping kereta perangnya yang telah lumpuh, Abimanyu mencoba bertahan dari gempuran para prajurit Kurawa yang yang tak terhitung jumlahnya. Sementara Laksmana, putra Duryudana, berdiri pada lapis ketiga dari prajurit Kurawa yang menyerang Abimanyu.

Abimanyu terus bertahan dari gempuran musuh. Sementara empat Pandawa lainnya masih terhadang oleh Jayajatra dan para prajuritnya. Sesaat di tengah upayanya untuk bertahan, Abimanyu mencoba mengecoh perhatian prajurit musuh dengan melemparkan sebilah keris yang ia genggam di tangan kirinya ke arah Laksmana. Dengan sebelumnya menembus dua prajurit Kurawa, keris itu dengan tepat menghunjam ke dada Laksmana. Tersungkurlah Laksmana dengan dada bersimbah darah oleh keris Abimanyu.

Terperanjat Duryudana menyaksikan putera kesayangannya terbunuh dengan tragisnya. Kemurkaannya meluap, segera ia perintahkan segenap prajurit Kurawa untuk menyerang Abimanyu. Tanpa kecuali Sang Maharesi Durna dan Basukarno. Atas saran Durna, Basukarno menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kereta perangnya yang tersisa dihancurkan dan semua senjatanya terbuang. Sebuah peperangan yang sudah lagi tidak mengindahkan aturan perang. Prajurit Kurawa menyerang Abimanyu secara serentak. Dengan kemampuan yang tersisa, Abimanyu dapat bertahan sampai pedangnya patah menjadi dua bagian dan roda kereta perang yang ia gunakan sebagai perisai hancur berkeping-keping. Sesaat kemudian, ratusan anah panah mengarah ke segenap bagian tubuh Abimanyu. Ia roboh bersimbah darah dengan luka di sekujur tubuhnya dan tanpa satupun bagian tubuhnya yang luput dari anak panah yang menghunjam.

Kakawin Bharatayudha menuturkan : “Ri pati Sang Abhimanyu ring ranangga. Tənyuh araras kadi cewaling tahas mas. Hanana ngaraga kalaning pajang lek. Cinacah alindi sahantimun gininten.” Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur. Indah untuk dilihat bagaikan lumut dalam periuk emas. Jasadnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, sehingga menjadi halus seperti mentimun.
Satu tahun sebelum perang itu, di hadapan Dewi Utari yang hendak dipinangnya, Abimanyu bersumpah bahwa ia bersedia menerima ranjapan senjata dalam suatu peperangan apabila ia berkata tidak jujur bahwa ia belumlah menikah. Sementara pada masa yang sama, Siti Sundari telah menjadi istrinya. Barang kali apa yang terjadi di padang Kurusetra itu adalah kepastian akan sumpahnya yang tiada tertunda.

(Suryandaru Rineksa Kawuryan)

No comments:

Post a Comment

 

Followers

About

About

KPP Pratama Bojonegoro Jl Teuku Umar No 17 Bojonegoro