Powered by Blogger.

Search This Blog

Wednesday, September 10, 2014

Catatan Kecil : KURUSETRA





Delapan belas hari sudah padang Kurusetra menjadi medan laga bagi para wangsa Kuru. Anyir darah menyeruak dalam setiap jengkal tanah ilalang tersebut. Udara terasa berat oleh debu-debu peperangan yang bercampur bau busuk jasad para korban dan kuda perang. Kereta-kereta perang yang hancur tak berupa beserta ribuan senjata tak bertuan yang terserak menambah muramnya tanah di tepian sungai Saraswati tersebut.

Telah gugur para pahlawan dari pihak masing-masing. Padang Kurusetra menjadi tanah kalangan bagi Bisma, pinesepuh wangsa Kuru yang tentunya pinesepuh dari pihak Pandawa maupun pihak Kurawa yang sedang berperang. Pada hari kesepuluh, tubuh laki-laki agung tersebut terjerembah ke tanah ketika anak panah yang dilesatkan Srikandi dari gendewanya menembus dadanya. Bisma tak kuasa untuk mengangkat senjatanya ketika mengetahui bahwa Srikandi yang tak lain adalah perupaan Dewi Amba, wanita yang menderita batin atas cintanya yang terenggut dari Pangeran Salwa karena Bisma, dipertemukan dengannya oleh pihak Pandawa dalam perang tersebut.


Pada hari ketiga belas, Abimanyu putra Arjuna gugur dalam jebakan gelar perang Cakrabyuha yang dibangun oleh Durna. Lakon yang sering disebut sebagai Ranjapan Abimanyu dalam dunia pewayangan, menjadikan tubuh Abimanyu roboh bersimbah darah oleh ribuan anak panah yang dilepaskan oleh prajurit Kurawa.

Gelar perang Cakrabyuha yang dikembangkan prajurit Kurawa telah memporak-porandakan para prajurit Pandawa. Yudhistira yang mengetahui hal tersebut, memerintahkan Abimanyu untuk merusak gelar perang musuh. Hanya dirinya dan ayahandanyalah, Arjuna, yang dapat mematahkan gelar perang tersebut. Sementara pada saat yang bersamaan Arjuna terlibat perang tanding dengan Bhagadatta. Dengan perlindungan empat Pandawa lainnya, Abimanyu memasuki gelar perang musuh yang terhampar. Namun perlindungan empat Pandawa tersebut menjadi sia-sia ketika Jayajatra menghadang upaya perlindungan Abimanyu. Maka terjebaklah Abimanyu dalam gelar perang musuh tanpa perlindungan. Dan seketika ribuan anak panah prajurit Kurawa menghampiri dirinya dan menjemput kematiannya.

Di sisi utara padang Kurusetra, di kaki bukit dekat aliran sungai Saraswati, Arjuna tertegun dan menangisi kematian putranya. Ia marah pada Jayajatra yang menghalangi usaha para Pandawa untuk melindungi Abimanyu. Ia bersumpah akan membalas kematian Abimanyu pada hari keempat belas. Ia juga bersumpah bahwa jika ia tidak berhasil melakukannya sampai matahari terbenam, ia akan melakoni pati obong.

Bisma dan Abimanyu gugur dalam medan laga padang Kurusetra. Eyang dari Pandawa dan generasi kedua Pandawa tersebut sama-sama gugur dalam perang wangsa Kuru. Perang yang seharusnya tidak terjadi jika saja Destarata memahami batas-batas hak yang ia punya. Perang yang juga seharusnya tidak terjadi jika ia tidak hanyut dalam hasutan Gendari, istrinya. Namun ternyata, Destarata tidak hanya buta matanya, tapi juga buta hatinya.

Eyang dan cucu tersebut sama-sama terjebak dalam pranata konflik yang lahir dalam wangsanya sendiri. Konflik wangsa yang semestinya tidak diharapkan oleh mereka berdua. Mereka berdua menjadi korban ketika harus netepi dharma masing-masing. Hanya saja karena Bisma harus berdiri di belakang para putra Destarata yang selama ini telah tinggal bersamanya di istana Hastinapura, Bisma harus berkalang tanah dalam perang di padang Kurusetra yang telah lalu. Begitupun dengan Abimanyu, dharma atas hak dan kehormatan trahnya, dharma atas kehormatan Drupadi yang telah dipermalukan para Kurawa di arena permainan dadu di istana Hastinapura menjadi pintu gerbang atas ujung hayatnya.

Mereka berdua harus gugur - ataupun digugurkan - dalam pelaksanaan dharma mereka yang seharusnya tidak demikian ujungnya. Namun demikianlah, takdir telah digaris di langit. Mereka harus menanggung akibat yang sejatinya itu adalah semata demi melaksanakan dharma mereka. Akibat yang tentunya berhulu pada sesuatu yang bukan karena kesalahannya. Mereka semata-mata melaksanakan dharma mereka.

Di manakah keadilan bagi mereka yang semata-mata melaksanakan dharma tanpa pamrih tersebut ?

Riak air sungai Saraswati menjadi temaram ketika malam tersaput awan walaupun bulan separuh purnama menggantung di langit utara, dan Arjuna terus termangu atas kematian putranya.

(Suryandaru Rineksa Kawuryan)

No comments:

Post a Comment

 

Followers

About

About

KPP Pratama Bojonegoro Jl Teuku Umar No 17 Bojonegoro