Delapan
belas hari sudah padang Kurusetra menjadi medan laga bagi para wangsa Kuru.
Anyir darah menyeruak dalam setiap jengkal tanah ilalang tersebut. Udara terasa
berat oleh debu-debu peperangan yang bercampur bau busuk jasad para korban dan
kuda perang. Kereta-kereta perang yang hancur tak berupa beserta ribuan senjata
tak bertuan yang terserak menambah muramnya tanah di tepian sungai Saraswati
tersebut.
Telah
gugur para pahlawan dari pihak masing-masing. Padang Kurusetra menjadi tanah
kalangan bagi Bisma, pinesepuh wangsa Kuru yang tentunya pinesepuh dari pihak
Pandawa maupun pihak Kurawa yang sedang berperang. Pada hari kesepuluh, tubuh
laki-laki agung tersebut terjerembah ke tanah ketika anak panah yang dilesatkan
Srikandi dari gendewanya menembus dadanya. Bisma tak kuasa untuk mengangkat
senjatanya ketika mengetahui bahwa Srikandi yang tak lain adalah perupaan Dewi Amba,
wanita yang menderita batin atas cintanya yang terenggut dari Pangeran Salwa
karena Bisma, dipertemukan dengannya oleh pihak Pandawa dalam perang tersebut.
Pada
hari ketiga belas, Abimanyu putra Arjuna gugur dalam jebakan gelar perang
Cakrabyuha yang dibangun oleh Durna. Lakon yang sering disebut sebagai Ranjapan
Abimanyu dalam dunia pewayangan, menjadikan tubuh Abimanyu roboh bersimbah
darah oleh ribuan anak panah yang dilepaskan oleh prajurit Kurawa.
Gelar
perang Cakrabyuha yang dikembangkan prajurit Kurawa telah memporak-porandakan
para prajurit Pandawa. Yudhistira yang mengetahui hal tersebut, memerintahkan
Abimanyu untuk merusak gelar perang musuh. Hanya dirinya dan ayahandanyalah,
Arjuna, yang dapat mematahkan gelar perang tersebut. Sementara pada saat yang
bersamaan Arjuna terlibat perang tanding dengan Bhagadatta. Dengan perlindungan
empat Pandawa lainnya, Abimanyu memasuki gelar perang musuh yang terhampar.
Namun perlindungan empat Pandawa tersebut menjadi sia-sia ketika Jayajatra
menghadang upaya perlindungan Abimanyu. Maka terjebaklah Abimanyu dalam gelar
perang musuh tanpa perlindungan. Dan seketika ribuan anak panah prajurit Kurawa
menghampiri dirinya dan menjemput kematiannya.
Di
sisi utara padang Kurusetra, di kaki bukit dekat aliran sungai Saraswati,
Arjuna tertegun dan menangisi kematian putranya. Ia marah pada Jayajatra yang
menghalangi usaha para Pandawa untuk melindungi Abimanyu. Ia bersumpah akan
membalas kematian Abimanyu pada hari keempat belas. Ia juga bersumpah bahwa
jika ia tidak berhasil melakukannya sampai matahari terbenam, ia akan melakoni pati
obong.
Bisma
dan Abimanyu gugur dalam medan laga padang Kurusetra. Eyang dari Pandawa dan
generasi kedua Pandawa tersebut sama-sama gugur dalam perang wangsa Kuru.
Perang yang seharusnya tidak terjadi jika saja Destarata memahami batas-batas
hak yang ia punya. Perang yang juga seharusnya tidak terjadi jika ia tidak
hanyut dalam hasutan Gendari, istrinya. Namun ternyata, Destarata tidak hanya
buta matanya, tapi juga buta hatinya.
Eyang
dan cucu tersebut sama-sama terjebak dalam pranata konflik yang lahir dalam
wangsanya sendiri. Konflik wangsa yang semestinya tidak diharapkan oleh mereka berdua.
Mereka berdua menjadi korban ketika harus netepi dharma masing-masing.
Hanya saja karena Bisma harus berdiri di belakang para putra Destarata yang
selama ini telah tinggal bersamanya di istana Hastinapura, Bisma harus
berkalang tanah dalam perang di padang Kurusetra yang telah lalu. Begitupun
dengan Abimanyu, dharma atas hak dan kehormatan trahnya, dharma atas
kehormatan Drupadi yang telah dipermalukan para Kurawa di arena permainan dadu
di istana Hastinapura menjadi pintu gerbang atas ujung hayatnya.
Mereka
berdua harus gugur - ataupun digugurkan - dalam pelaksanaan dharma mereka
yang seharusnya tidak demikian ujungnya. Namun demikianlah, takdir telah
digaris di langit. Mereka harus menanggung akibat yang sejatinya itu adalah
semata demi melaksanakan dharma mereka. Akibat yang tentunya berhulu
pada sesuatu yang bukan karena kesalahannya. Mereka semata-mata melaksanakan dharma
mereka.
Di
manakah keadilan bagi mereka yang semata-mata melaksanakan dharma tanpa
pamrih tersebut ?
Riak
air sungai Saraswati menjadi temaram ketika malam tersaput awan walaupun bulan
separuh purnama menggantung di langit utara, dan Arjuna terus termangu atas
kematian putranya.
(Suryandaru
Rineksa Kawuryan)
No comments:
Post a Comment