Ia di lahirkan di Plosokediren, Randublatung, Blora pada tahun 1859. Raden Kohar adalah nama kecilnya. Trah bangsawan mengalir dalam darahnya dari garis ayahnya, Raden Surowijoyo yang merupakan keturunan dari Pangeran Kusumaningayu, Adipati Sumoroto, daerah Tulungagung sekarang.
Ia dibesarkan dalam pengasuhannya ayahnya di Plosokediren. Realita masa penjajahan kolonial menyadarkan dirinya akan hak-hak bangsa pribumi yang tertindas. Terutama kebijakan Kompeni atas privatisasi hutan jati dan kewajiban membayar pajak bagi masyarakat miskin.
Raden Kohar tumbuh dengan jiwa dan semangat empatis atas masyarakat sekitar. Ia melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata). Perlawanan tidak dilakukan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap pemerintah Kolonial. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut, ia merekontruksi sebuah tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baru yang berbeda dari kaidah-kaidah yang berlaku umum. Sebuah gerakan yang lebih bersifat sebagai pembangkangan dan perlawanan sipil terhadap pemerintah Kolonial.
Gerakan sosial Raden Kohar, yang selanjutnya bernama Samin Surosentiko ~ sebuah nama yang lebih bernafaskan jiwa rakyat kebanyakan ~, memiliki tiga unsur gerakan Saminisme. Pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung. Kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok. Dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Sartono Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Samin Surosentiko mengawali pergerakannya dari Klopoduwur, Banjarejo, Blora pada tahun 1890. Banyak yang tertarik atas gerakan tersebut dan dalam waktu singkat telah banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah Kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut. Ajaran Samin Surosentiko hanya dianggap sebagai sebuah ajaran kebatinan atau agama baru yang berkembang di tengah rakyat jelata.
Pada 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Pada 1907, pengikut Samin Surosentiko sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Beserta delapan pengikutnya, Samin Surosentiko dibuang ke Padang, Sumatera Barat.
Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan gerakan Samin. Pada 1908, Wongsorejo, salah satu pengikut Samin, menyebarkan ajarannya di Madiun dan mengajak orang-orang desa untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Oleh pemerintah Kolonial, Wongsorejo dengan sejumlah pengikutnya ditangkap dan dibuang ke luar Jawa.
Pada 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin Surosentiko di Grobogan. Puncak gerakan Samin Surosentiko terjadi pada 1914 ketika pemerintah Kolonial Belanda menaikkan pajak kepala. Para pengikut Samin menyambutnya dengan pembangkangan dan penolakan secara masif dan hal tersebut terjadi di semua wilayah penyebaran ajaran Samin Surosentiko. Para pengikut Samin Surosentiko di Purwodadi dan Balerejo, Madiun sudah tidak lagi menghormati pamong desa, polisi dan aparat pemerintah lainnya.
Dalam masa itu, di Kajen, Pati, Karsiyah, salah seorang pengikut ajaran Samin Surosentiko, tampil sebagai Pangeran Sendang Janur yang mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati, orang-orang Samin juga mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai badut-badut belaka. Di Desa Tapelan, Ngraho, Bojonegoro, juga terjadi perlawanan terhadap pemerintah Kolonial dengan tidak mau membayar pajak. Karena itu, teror dan penangkapan makin gencar dilakukan pemerintah Kolonial terhadap para pengikut Samin Surosentiko. Hingga pada akhirnya pada tahun 1930, gerakan masif para pengikut Samin Surosentiko mulai melemah dan tenggelam.
***
Melalui kawasan hutan jati dengan meniti jalan yang terawat, sampailah di dusun Karangpace, desa Klopoduwur, Banjarejo, Blora. Sebuah pendopo joglo berdiri di tengah pemukiman masyarakat. Karangpace, sebuah wilayah yang masih mendokumentasikan secara sempurna ajaran Samin Surosentiko.Keseharian mereka secara teguh masih berpegang pada serat panduan perilaku yang terdiri dari Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi dan Serat Lampahing Urip.
Dengan mempedomani kitab-kitab itulah, masyarakat Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah lakonana sabar trokal, sabare dieling-eling, trokale dilakoni.
Keyakinan ini menekankan perlunya dua nilai utama dalam kehidupan, yakni kejujuran dan kebenaran. Inti ajaran Samin yang mengatur tata laku keseharian diabstraksikan dalam konsep Pandom Urip (Petunjuk Hidup) yang mencakup Angger-angger Pratikel (hukum tindak tanduk), Angger-angger Pangucap (hukum berbicara) dan Angger-angger Lakonana (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).
Angger-angger Pratikel berbunyi aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput lan mbedog colong. Maksudnya warga dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.
Angger-angger Pangucap berbunyi Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pangucap saka sanga bundhelane ana pitu. Sebuah hukum yang bermakna bahwa warga harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik semata. Sementara yang menjadi nilai dari hukum ini adalah bahwa warga harus memelihara lisannya dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain yang mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna.
Angger-angger Lakonana berbunyi Lakonana sabar trokal, sabare dieling-eling, trokale dilakoni. Sebuah hukum yang bermakna bahwa warga harus ingat pada kesabaran dan berbuat bagaikan orang mati dalam hidup.
Demikian juga di dusun Jepang, Desa Margomulyo, Bojonegoro, sekitar lima puluh kilo meter dengan menyeberangi bengawan Solo dari Klopoduwur, sebuah mozaik abadi akan kejujuran hati dan perilaku tetap terpelihara sampai kini. Dengan tubuh yang sudah sepuh, Mbah Harjo Kardi tetap nguri-nguri dan mewariskan ajaran-ajaran Samin Surosentiko kepada masyarakat sekitar.
Saminisme, kerap kali secara ironis distigmakan sebagai sikap terbelakang oleh banyak orang, namun di dalamnya terdapat sebuah mozaik abadi akan kejujuran hati dan perilaku yang atas hal ini belum tentu dimiliki oleh mereka yang kerap sinis terhadapnya.
(Suryandaru Rineksa Kawuryan)
No comments:
Post a Comment