Powered by Blogger.

Search This Blog

Thursday, October 9, 2014

Catatan Kecil : AMANGKURAT





Ia mewarisi tahta ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Raja Mataram yang termasyur itu tidak ada pilihan lain selain kepada Raden Mas Sayidin, putra tertuanya dari Ratu Wetan, untuk ditunjuknya sebagai raja berikutnya dari Dinasti Mataram.

Pada tahun 1646 ia naik tahta. Dengan gelar yang ditasbihkannya sebagai Amangkurat I, ia berkuasa atas seluruh wilayah Jawa bagian tengah, Manca Negara Wetan dan Madura. Amangkurat, suatu nama yang dimaksudkan sebagai pemangku rat, pemangku bumi. Bukan kearifan dan kecakapannya dalam pemerintahan yang ia warisi dari ayahnya, namun hanya kebrutalan yang ia teruskan dari masa-masa sebelumnya.



Sejak kepindahan kota raja Mataram dari Kerta ke Plered pada tahun 1647, babak hitam sejarah Mataram dimulai. Raden Mas Alit, adiknya sendiri, harus mati di tangannya akibat selisih paham dengannya tentang perlakuan dia atas para sesepuh Mataram. Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya dibunuh orang suruhannya di tengah perjalanan ke Blambangan dalam rangka merebut kembali Blambangan yang telah dikuasai Bali. Orang-orang yang tidak sepaham dengan pandangan politik Sang Amangkurat, satu per satu berdiri pada garis penantian kematian.

Demikian pula dengan para pendukung Raden Mas Alit, mereka mengalami nasib yang tak jauh beda. Sebagai mana yang diungkapkan De Graaf dalam bukunya yang berjudul Disintegrasi Mataram di Bawah Amangkurat I, pada tahun 1647 tidak kurang 4000 ulama dibunuh di alun-alun Plered atas perintahnya.
Mataram suatu imperium pada saat itu, namun suatu imperium yang tinggal satu tarikan nafas untuk keruntuhannya. Raja lalim yang berkuasa di atas nafsu dan tirani dengan mencampakan nurani adalah sebab musababnya. Raden Rahmat, adipati anom yang merupakan putra mahkota Mataram, pada tahun 1661 melancarkan kudeta terhadap ayahnya sendiri namun kudeta tersebut dapat digagalkan. Kudeta tersebut bermula dari upaya Amangkurat I yang hendak mengalihkan kedudukan putra mahkota dari Raden Mas Rahmat ke Pangeran Singasari, putra Amangkurat I yang lain. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya, namun ia gagal dalam upaya membunuh putranya dengan racun warangan. Kekuasaan telah mematikan hati mereka sehingga bukan lagi sebagai ayah dan anak, namun serasa sebagai musuh.

Tabiat Raden Mas Rahmat akan nafsu baik atas kekuasaan maupun wanita ternyata tidak jauh beda dari ayahnya. Perselisihan ayah anak tersebut memuncak pada tahun 1668 ketika Raden Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi. Pangeran Pekik, yang tak lain mertua Amangkurat I sendiri yang merupakan kakek dari Raden Mas Rahmat, dia hukum mati beserta empat puluh anggota keluarga lainnnya dengan tuduhan telah menculik Rara Oyi untuk Raden Mas Rahmat. Raden Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.

Tidak hanya konflik dengan keluarga saja apa yang dialami oleh Amangkurat I. Pada tahu 1670 mulai pecah pemberontakan Trunajaya, seorang bangsawan Madura. Dengan dukungan Raden Kajoran atau Panembahan Rama dan dibantu para prajurit Makassar di bawah pimpinan Karaeng Galesong, Trunajaya mulai melakukan pemberontakan secara sporadis. Raden Mas Rahmat yang sudah dipecat dari
kedudukanya sebagai adipati anom dan putera mahkota turut membantu pemberontakan Trunajaya.

Pada tahun 1675 Trunajaya mulai mengusai kota-kota pesisir pantai utara Jawa. Pada 1676, Amangkurat I mengirim pasukan untuk memadamkan api pemberontakan Trunajaya. Di bawah pimpinan Raden Mas Rahmat, Amangkurat I menghendaki untuk segera dipadamkan perang yang telah dikobarkan oleh Trunajaya tersebut. Barangkali Amangkurat I tidak mengetahui akan adanya konspirasi antara Trunajaya dengan putranya. Atau, kalaupun dia tahu, barangkali dia memang sengaja mengirim anak yang tak disukainya itu agar mati terbunuh di pertempuran. Namun si anak, tampaknya tak berniat untuk sungguh-sungguh berperang.

Sebaliknya, Trunajaya bertindak dengan rencananya sendiri yang tidak melibatkan Sang Pangeran. Pada Agustus 1676, ia mengangkat diri menjadi raja dan Panembahan Perang di Gogodog. Kemenangan total pemberontakan Trunajaya terjadi pada September 1676. Segera saja, rakyat Jawa berbondong-bondong meninggalkan Amangkkurat I dan bergabung dengan Sang Ratu Adil baru.

Pada tanggal 28 Juni 1677, istana Plered berhasil diduduki pasukan Trunajaya. Dengan jatuhnya istana Plered, Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai akhir kesultanan Mataram. Setelah menduduki istana Plered dan mendapatkan rampasan perang, Trunajaya meninggalkan istana tersebut dan kembali ke Kediri yang telah dijadikannya sebagai pusat kekuasaannya.

Sementara pada saat itu, Amangkurat I melarikan diri ke arah barat laut dengan ditemani Raden Mas Rahmat dan adiknya, Pangeran Adipati Mataram. Dengan dayanya yang telah ringkih, Amangkurat I menghitung hari-hari akhirnya dalam pelariannya tersebut. Pada tanggal 13 Juli 1677, Amangkurat I meninggal dalam pelariannya di desa Wanayasa, Banyumas. Satu versi lain menyatakan bahwa kematian Amangkurat I dipercepat oleh minuman air kelapa beracun yang diberikan oleh Raden Mas Rahmat. Amangkurat I dikebumikan di Tegalarum, suatu daerah dekat Tegal kini, sehingga kerap kali ia disebut sebagai Pangeran Tegal Arum.

Kekusaan yang didirikan di atas genangan darah dan nafsu angkara hanya akan membuahkan sebuah tirani tak bernurani. Amangkurat I, sebuah cerminan dari apa-apa yang yang pernah diungkapkan Machiavelli dan sebuah tiran abadi dari Jawa. Dan semoga bukan masanya lagi waktu yang akan tiba.

(Suryandaru Rineksa Kawuryan)

No comments:

Post a Comment

 

Followers

About

About

KPP Pratama Bojonegoro Jl Teuku Umar No 17 Bojonegoro