Ia tersingkir dari istananya. Setelah Raja Adiwijaya, ayahandanya, mangkat dan Pajang kalah perang oleh pasukan Sutawijaya, kekuasaan atas Kerajaan Pajang diserahkan kepada Aryo Pangiri pada tahun 1589. Aryo Pangiri, putra Sunan Prawoto sekaligus menantu tertua dari Raja Adiwijaya.
Pangeran Benowo selanjutnya didudukkan sebagai Adipati Jipang Panolan, suatu daerah yang wilayah kekusaannya meliputi Kabupaten Blora dan Bojonegoro pada saat ini. Entah apa maksud dari para pembesar Pajang ataupun Sutawijaya, seorang Pangeran Benowo yang merupakan putra tertua dari Raja Adiwijaya yang mana lebih tinggi akan kedudukannya sebagai pewaris singgasana raja daripada seorang putera menantu, disingkirkan ke luar dari lingkaran kekuasaan.
Tidak berselang lama dalam pemerintahan Aryo Pangiri atas Kerajaan Pajang, bukan wajah pemerintahan sebagai mana yang diharapkan banyak pihak yang ia jalankan. Terlalu banyak kelaliman yang ia lakukan terhadap kawulanya sendiri. Rakyatnya kian banyak terancam atas sikap-sikapnya selama memerintah. Aryo Pangiri lebih bersikap sebagai seorang pangereh kawula dari pada seorang pengayom kawula.
Sutawijaya yang telah berkuasa di Mataram, untuk kedua kalinya menyerang Pajang. Sutawijaya hendak menegakkan kembali pamor kerajaan ayah angkatnya – satu versi ia sebenarnya adalah anak kandung Raja Adiwijaya – yang telah disia-siakan oleh Aryo Pangiri. Aryo Pangiri berhasil dikalahkan. Ia beserta seluruh keluarganya diusir dari Pajang dan kembali ke Demak.
Setelah Pajang tidak lagi dikuasai Ario Pangiri, Pangeran Benowo dinobatkan sebagai raja Pajang ketiga. Ia mewarisi kondisi kerajaan kang wis surut obore. Pajang sudah kehilangan pamornya. Setelah kepindahan kota rajanya dari pesisir utara Jawa ke daerah pedalaman di masa ayahandanya, bersamaan pula dengan berkembangnya pusat pemerintahan baru di sebelah selatan, yaitu di Kota Gede, Pajang bukan lagi suatu daerah yang menarik bagi banyak orang. Banyak rakyatnya yang lebih tertarik menjadi kawula Mataram dari pada Pajang. Terlebih lagi ketika pusaka keraton Pajang dipindahkan ke Mataram secara sepihak oleh Sutawijaya, Pajang semakin kehilangan kewibawannya di mata rakyatnya.
Pangeran Benowo menyadari sepenuhnya akan hal itu. Bagaimanapun juga, baginya, pusaka keraton merupakan lambang akan kekuasaan yang ia jalankan atas tanah Pajang. Ketika lambang tersebut secara serta merta dipisahkan darinya, maka pada hakikatnya ia sudah tidak dikehendaki lagi untuk berkuasa di Pajang. Genap satu tahun setelah ia dinobatkan sebagai raja Pajang, ia memutuskan untuk mengakhiri pemerintahannya. Ia lengser keprabon. Menyadari bahwa telah ada upaya secara halus yang dilakukan Sutawijaya untuk dapat berkuasa secara penuh baik di Mataram maupun Pajang. Mengingat pula, bagaimana Sutawijaya yang mendapatkan upah berupa tanah perdikan di alas Mentaok karena jasanya yang telah dapat menumpas makar Aryo Penangsang, Sutawijaya justru hendak menjadikan daerah tersebut sebagai matahari kembar bagi Pajang.
Pangeran Benowo untuk kedua kalinya harus tersingkir dari istananya. Ia tinggalkan Pajang. Ia tinggalkan kedudukannya sebagai raja atas kerajaan yang telah didirikan oleh ayahandanya. Selanjutnya Pajang diserahkan kepada Sutawijaya dan oleh Sutawijaya Pajang ditetapkan sebagai sebuah kadipaten di bawah kekuasaan Mataram.
Babad Tanah Jawi menuturkan, Pangeran Benowo selanjutnya melakukan perjalanan spiritualnya ke berbagai tempat. Ke arah timur pertama yang ia tuju. Ia bermukim beberapa lama di Sedayu, Gresik. Selanjutnya ia meneruskan perjalanannya ke arah barat dan sampai di hutan Kukulan, wilayah Kendal sekarang.
Untuk beberapa lama, Pangeran Benowo beserta para pengikutnya mendiami wilayah tersebut sembari mencari tempat yang lebih layak untuk ditempati. Sampai pada akhirnya, Pangeran Benowo mendapatkan tempat yang dirasa tepat baginya untuk bermukim. Tempat tersebut adalah hutan Tegalayang yang berada di sebelah selatan hutan Kukulan.
Di hutan Tegalayang, Pangeran Benowo melakukan kontemplasi dan olah batin spiritualnya. Dengan didampingi para pengikutnya, kurang lebih selama empat puluh hari laku itu ia jalankan. Babad Tanah Jawi selanjutnya menuturkan, di akhir laku spiritualnya, seorang utusan Panembahan Senopati, gelar lain dari Sutawijaya, datang menemuinya. Ia menyampaikan surat Sutawijaya yang ditujukan untuknya. Surat dengan maksud meminta Pangeran Benowo untuk datang ke Mataram dan sekaligus sebagai penyampaian akan haknya-haknya yang akan diluluskan oleh Sutawijaya.
Pangeran Benowo lebih berat akan apa yang ia jalani pada saat itu dibanding harus datang ke Mataram dan menghadap Sutawijaya. Selanjutnya ia mengutus seorang pengikutknya, Kyayi Bahu, untuk datang ke Mataram dan menghadap Sutawijaya. Sementara Pangeran Benowo melanjutkan perjalanan spiritualnya ke arah selatan, sampai akhirnya ia tiba di Parakan, wilayah Temanggung sekarang.
Di Parakan, Pangeran Benowo madheg alim ingkang jumeneng dateng purwaning agami, bertindak sebagai orang alim yang berdiri di garis depan agama. Ia dan para pengikutnya memberikan pengajaran ilmu agama dan spiritual kepada warga Parakan. Secara tulus ia lakukan itu sebagai wujud pendekatannya ke Tuhannya. Gelar Sunan Parakan pada akhirnya disematkan kepada dirinya oleh para pengikutnya.
Pangeran Benowo, bukan kedudukan dan keberadaan dunia yang menjadi imannya. Ia tidak silau akan singgasana dan keraton Pajang walaupun sebenarnya hal tersebut adalah haknya. Ia tidak silau akan kekuasaan dan martabat yang tidak terpisahkan bagi seorang raja. Kehakikian akan hidup adalah pada kedekatannya kepada Sang Pemilik Hidup. Dan itu yang ia pegang teguh sampai akhirnya hayatnya.
(Suryandaru Rineksa Kawuryan)
No comments:
Post a Comment