Seorang menantu yang disingkirkan, dibunuh dengan sadisnya di batu gilang, singgasana Kesultanan Mataram. Ketika kekuatan militer tidak memungkinkan untuk mendukung penguatan hegemoni dan kekuasaan ~ setelah peperangan melawan Pajang ~, sebuah usaha untuk memperdayai dan menaklukan musuh dilakukan dengan menjadikan putrinya sendiri, Retna Pembayun sebagai umpan.
Mangir, sebuah dusun di desa Sendang Sari, Pajangan, Bantul, pada era abad ke-16 merupakan sebuah tanah perdikan yang dibangun oleh bangsawan Majapahit. Ki Ageng Wonoboyo Mangir berkuasa atas tanah perdikan tersebut melanjutkan kekuasaan yang didirikan oleh leluhurnya. Ke arah utara, di pinggiran Kali Opak, sebuah swatantra baru yang bernama Mataram sedang dibangun oleh Panembahan Senopati.
Dua tahun sebelumnya pada tahun 1582, Mataram terlibat peperangan besar dengan Pajang yang berujung pada kekalahan Pajang dan mangkatnya Sultan Hadiwijaya, yang tak lain ayah kandung dari Panembahan Senapati yang dilahirkan lewat rahim Nyai Sabinah, istri Ki Ageng Pemanahan.
Masih tersisa tenaga-tenaga yang letih oleh karena peperangan sebelumnya bagi sebuah negara yang baru berdiri ketika Mataram dihadapkan pada Mangir yang menolak mengakui hegemoni Mataram. Namun pembiaran atas kekuasaan Wonoboyo Mangir yang hanya berada sejengkal dari Mataram tidak ubahnya adalah sebuah upaya untuk mengukur seberapa luas dada seorang Panembahan Senapati. Panembahan Senapati dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama absurbnya, antara menggerakkan kekuatan militer dalam rangka membungkam Wonoboyo Mangir yang mana merupakan sesuatu yang tidak mungkin, atau membiarkan Wonoboyo Mangir tetap berkuasa atas tanah perdikan Mangir yang mana hal tersebut akan menjadi klilip bagi seorang Panembahan Senapati.
Ki Juru Mertani, seorang sepuh nan cerdik pandai yang merupakan penasehat Panembahan Senapati sedari masih berdirinya Pajang, melihat adanya kebuntuan jalan yang sedang dihadapi oleh anak asuhnya tersebut. Atas saran Ki Juru Mertani, bahwa untuk menaklukan Wonoboyo Mangir tidak perlu dengan kekuatan militer. Ada sebuah jalan yang cukup tepat untuk hal tersebut. Maka diutuslah Retna Pembayun, putri sulung Panembahan Senopati sebagai duta Mataram dalam rangka melenyapkan Wonoboyo Mangir.
Sebagai seorang Welas, Retna Pembayun bersama kelompok penari kelilingnya melakoni mengamen ke Mangir. Setelah sekian waktu mengamen di Mangir, penari Welas telah menempati satu ruang tersendiri dalam hati Wonoboyo Mangir. Hingga akhirnya, dengan berwalikan Ki Juru Mertani, Wonoboyo Mangir menikahi Welas.
Empat bulan setelah pernikahan itu, dalam sebuah malam yang senyap di Mangir, lahir sebuah pengakuan dari Welas kepada suaminya bahwa ia adalah putri Panembahan Senopati, orang yang selama ini menjadi seterunya. Diam membisu dalam malam yang semakin senyap, Wonoboyo Mangir menghadapi kenyataan tersebut. Bahwa seorang Welas yang telah disuntingnya, yang telah menjadi pendamping hidupnya adalah Putri Pembayun, yang tidak lain adalah anak perempuan Panembahan Senapati yang selama ini begitu kuat akan hasrat politiknya untuk menguasai tanah Mangir. Ia telah bermertuakan seseorang yang selama ini selalu berharap akan kematiannya, setidak-tidaknya menyerahkan tanah perdikan Mangir ke kekuasaan Mataram.
Sebuah kenyataan yang sama sekali tak terperkirakan oleh seorang Wonoboyo Mangir atas apa yang ia hadapi. Namun bagaimanapun, bagi seorang Wonoboyo Mangir tak luntur sedikitpun akan rasa cintanya kepada Welas atas kenyataan tersebut. Welas ataupun Putri Pembayun selama ini, dengan cintanya telah memberikan pengabdian secara penuh dan tulus kepada Wonoboyo Mangir. Putri Pembayun tidaklah menghadirkan dirinya sebagai seorang putri kedaton di hadapan Wonoboyo Mangir, namun semata-mata sebagai seorang istri.
Sebuah titah dari Mataram mengharuskan Putri Pembayun beserta suami untuk ngabekten kepada ayahandanya. Bagi Wonoboyo Mangir, sebagai seorang menantu tentunya hal tersebut adalah sebuah kewajiban yang mana harus berdharma bhakti tidak hanya kepada kedua orang tuanya saja, namun juga kepada orang tua dari Putri Pembayun yang tiada lain adalah istrinya.
Termangu Wonoboyo Mangir dalam perjalanan ke Mataram….. Tuluskah uluran tangan sebagai bentuk penerimaannya sebagai seorang menantu dari Panembahan Senapati ini ? Belum hilang dalam ingatan Wonoboyo Mangir atas apa yang dilakukan oleh Panembahan Senapati dalam memperdayai Sultan Hadiwijaya yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri. Pada satu titik perjalanan, hati Wonoboyo Mangir ngemban mentul, ragu-ragu ~ di kemudian hari daerah tersebut disebut dengan nama Bantul ~. Namun atas cinta yang telah ia tanam dan berikan kepada istrinya, pada akhirnya perjalanan ke Mataram tersebut tetap ia lanjutkan.
Di regol utama sitihinggil Istana Mataram, Wonoboyo Mangir harus menghetikan langkahnya. Satu permintaan dari pengawal istana bahwa ia harus melepaskan dan menitipkan Kyayi Baru Klinthing, senjata yang ia miliki. Walaupun seorang putra menantu, bukan suatu kepantasan ketika menghadap dan ngabekten pada seorang raja dengan senjata yang terhunus.
Di atas singgasana batu gilang, Panembahan Senapati duduk menanti pangabektenan Putri Pembayun dan suaminya. Di sudut lain paseban, di atas permadani hijau yang terhampar, duduk seorang diri Ki Juru Mertani. Dengan sorot mata yang tajam, Ki Juru Mertani menatap setiap langkah Wonoboyo Mangir. Beringsut dan setengah merangkak, Wonoboyo Mangir dan istrinya menghampiri Panembahan Senapati. Tepat ketika berada di hadapan Panembahan Senapati, dengan takzim Wonoboyo Mangir hendak bersujud sebagai perwujudan atas bhaktinya kepada ayahanda mertuanya, tangan Panembahan Senapati meraih kepala Wonoboyo Mangir dan menghepaskannya ke arah batu gilang. Seketika itu pula, semburat darah merah memercik wajah Putri Pembayun yang berada di sisi Wonoboyo Mangir seiring dengan tangisnya yang pecah. Tubuh Wonoboyo Mangir terpelanting dan akhirnya terkapar di bawah kaki Panembahan Senapati. Musnah sudah klilip yang selama ini membayangi Panembahan Senapati.
Putri Pembayun adalah Putri Pembayun. Setengah tahun yang telah lewat ia datang ke Mangir bukanlah hendak melacurkan dirinya kepada Wonoboyo Mangir. Semata-mata atas perintah ayahandanya untuk menjadikan Wonoboyo Mangir sebagai bagian dari keluarga Mataram. Dengan cinta yang tulus, ia telah mengabdikan dirinya kepada Wonoboyo Mangir yang merupakan suaminya. Dengan cinta yang tulus, telah tumbuh janin dalam rahim Putri Pembayun yang merupakan buah hati antara ia dan Wonoboyo Mangir.
Namun pada akhirnya semuanya itu kalah….. kalah oleh ambisi politik ayahandanya sendiri, Panembahan Senapati. Sebuah ruang hampa dan gulita, yang tiada welas asih sekalipun untuk keluarga sendiri ketika politik dan kekuasaan telah menjadi anggur manis yang menjadikan mata bermerah saga.
(Suryandaru Rineksa Kawuryan)
No comments:
Post a Comment