Sesudah Adipati Jipang itu, Aryo Penangsang, tewas secara mengenaskan dengan usus terburai pada suatu siang di tepi bengawan Sore, lega sudah hati Sultan Hadiwijaya. Ia merasa klilip yang selama ini menghantui dirinya dan segenap trah Trenggono telah sirna. Ia juga merasa lega karena derita bathin di atas kesumat segenap trah Trenggono telah terbayarkan. Terbanyang dalam dirinya atas kematian Sunan Prawoto dan Pangeran Hadlirin. Atas itu pula yang menyebabkan Ratu Kalinyamat, istri Pangeran Hadlirin, harus melakoni tapa wuda sinjang rambut di gunung Donorojo. Tapa wuda sinjang rambut sampai kematian Pangeran Hadlirin terbalaskan.
Akhir 1549 menjadi awal dari tiadanya Kerajaan Demak. Kota raja dari Demak dipindahkan ke Pajang, dekat Surakarta sekarang. Selanjutnya Sultan Hadiwijaya memaklumatkan berdirinya kerajaan Pajang yang merupakan sebuah kerajaan baru yang berkuasa atas sebagian wilayah Jawa bagian tengah. Hal ini terjadi seiring dengan konflik berdarah atas perebutan kekuasaan yang berlarut-larut pada kerajaan pendahulunya, kerajaan Demak, menjadikan banyak kadipaten-kadipaten di Manca Negara Wetan yang melepaskan diri dari ikatan politik kerajaan tersebut.
Suatu kerajaan baru yang mewarisi sisa-sisa kejayaan kerajaan lama sekaligus yang mewarisi lembaran suram kerajaan lama yang tak terpisahkan dari pertumpahan darah perebutan kekuasaan sesama keluarga istana. Pangeran Sabrang Lor atau yang biasa disebut Adipati Unus, wafat dalam penyerbuan bala pasukannya terhadap Portugis di Malaka pada tahun 1521. Namun maksud lain dikandung dalam niatan buruk adiknya, Raden Trenggono. Minuman beracun telah diberikan kepada Adipati Unus lewat orang suruhan Raden Trenggono.
Kevakuman kekuasaan sepeninggal Adipati Unus menjadikan jiwa-jiwa haus kekuasaan sekaligus haus darah semakin terlihat benderang di antara sesama keluarga istana. Dengan maksud bahwa singgasana akan jatuh kepada dirinya suatu kelak nanti, Sunan Prawoto, anak Raden Trenggono, membukakan jalan kekuasaan ayahnya dengan membunuh Raden Kikin yang merupakan pewaris sah kesultanan Demak. Raden Kikin yang merupakan saudara tua Raden Trenggono dianggapnya dapat menjadi batu penghalang untuk mahkota sultan bagi trah Trenggono. Pada hari Jum’at sesudah sholat Jum’at didirikan, di pinggir suatu sungai, dengan keris Setan Kober yang disarungkan di lambungnya, Raden Kikin menjemput ajalnya. Atas hal itu pula, setelah Raden Kikin wafat, ia kerap kali disebut sebagai Pangeran Sekar Seda Lepen.
Pada tahun yang sama, Raden Trenggono naik tahta dengan gelar Sultan Trenggono. Usaha-usaha pelebaran kekuasaan ke Manca Negara Wetan terus ia lakukan. Agresi militer merupakan bagian dari upayanya untuk menyatukan ikatan politik seluruh kadipaten di Jawa bagian tengah dan Manca Negara Wetan. Pada tahun 1546, sewaktu penyerbuan di Panarukan, Sultan Trenggono wafat dalam penyerbuan tersebut.
Sultan Trenggono selanjutnya digantikan putranya, Sunan Prawoto. Tiga tahun setelah itu, kematian Pangeran Sekar Seda Lepen terbalaskan oleh Aryo Penangsang, putranya. Melalui orang suruhannya yang bernama Rungkud, Aryo Penangsang melampiaskan kesumatnya yang telah ia pendam selama dua puluh delapan tahun terakhir. Sunan Prawoto akhirnya harus mengakhiri hidupnya di ujung senjata yang sama dengan senjata yang ia gunakan sewaktu membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen.
Nafsu balas dendam Aryo Penangsang rupanya tidak hanya pada kematian Sunan Prawoto. Tumpes kelor ia maksudkan terhadap seluruh keturunan Trenggono. Sepulang dari Kudus, Ratu Kalinyamat harus melihat kenyataan ketika suaminya, Pangeran Hadlirin tewas oleh serbuan pengikut Aryo Penangsang. Atas kejadian tersebut, demi kehormatan trahnya dan demi arwah suaminya, Ratu Kalinyamat bersumpah untuk bertapa telanjang dengan hanya bertutupkan rambutnya di gunung Donorojo sampai Aryo Penangsang terbunuh.
Di baluwerti istana Pajang, dari balik dinding kayu jati yang berukirkan kembang setaman, Sultan Hadiwijaya merenung akan singgasana muram kerajaan Demak yang saat ini ia warisi tersebut. Apakah arti dari itu semua ? Genangan darah saudara atas sebuah kekuasaan dan sebuah kekuasaan yang dibangun di atas genangan darah saudara. Dua hal sepadan namun sejatinya berbeda. Antara dikorbankan dan pengorbanan, antara obyek dan subyek untuk sebuah kekuasaan. Dua entitas yang berbeda namun sejatinya satu tujuan, yakni untuk berkuasa. Pangeran Sabrang Lor, Pangeran Sekar Seda Lepen, Sunan Prawoto, Pangeran Hadlirin dan Aryo Penangsang adalah obyek yang dikorbankan untuk sebuah kekuasaan yang hendak diraih. Kekuasaan yang hendak diraih dengan menumpahkan darah saudara sendiri dan bukan dengan pengorbanan mereka sepenuh hati untuk sebuah kekuasaan tersebut.
Tahta yang penuh genangan darah, tahta yang semakin lapuk oleh usianya. Sementara itu, ke arah barat dari Pajang, di alas Mentaok, tanah perdikan itu telah berkembang dengan pesatnya di bawah kendali Sutawijaya. Ambeg adil paramarta, suatu impian dari sebagian kawula Pajang yang menjadikannya secara bersama-sama meninggalkan Pajang dan menetap di Mataram, nama baru atas tanah perdikan tersebut. Matahari kembar telah menyingkap langit di sisi selatan Jawa. Sinar panasnya yang hendak membakar satu sama lain.
Pada tahun 1582, pecah perang antara Pajang dan Mataram yang berakhir dengan kekakalahan Pajang. Sutawijaya berhasil meruntuhkan hegemoni Hadiwijaya yang selama ini telah membesarkan dirinya. Patah sudah tahta Pajang yang diduduki Hadiwijaya, terkubur sudah tahta berdarah tersebut. Sepulang dari perang dengan membawa kekalahan, Sultan Hadiwijaya mangkat. Sinar Pajang yang selama ini ia nyalakan telah dipadamkan oleh Sutawijaya yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri yang dilahirkan lewat rahim Nyai Sabinah, istri Ki Ageng Pemanahan.
Kekuasaan yang didirikan di atas nafsu untuk saling menguasai hanya akan melahirkan pertumpahan darah yang tidak lagi memandang akan adanya ikatan darah. Sungguh tragis dan ironis.
(Suryandaru Rineksa Kawuryan)
No comments:
Post a Comment